MAKALAH mata kuliah ushul fiqih dengan judul "SEJARAH IMAMUL HARAMAIN"
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: H. Amin Farih, M.Ag
Disusun oleh:
1.
Umuntiatus Sholechah (133411011)
2.
Af’idaturrohmawati (133411012)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
(FITK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Imam Al-Haramain
Al-Juwaini merupakan salah seorang Guru Imam Al-Ghazali dan Imam Al-Qusyairi,
terutama ketika mereka masih kuliah di Universitas Nizamiyah, Baghdad,
perguruan tinggi yang saat itu sangat terkenal karena melahirkan sejumlah Ulama
besar. Imam Al-Haramain Al-Juwaini memang tidak terkenal sebagai Sufi, tapi
beliau mampu memberikan inspirasi bagi anak didiknya untuk menjadi sufi. Beliau
juga dikenal sebagai pengarang yang produktif. Kitab-kitabnya dikaji oleh kaum
muslimin di seluruh dunia, menjadi rujukan wajib bagi mereka yang mendalami
agama.
Banyak pemikiran pemikiran yang ia lahirkan termasuk dalam bidang politik
yang selalu menjadi kajian yang menarik, hal ini karena pemikiran imam juwaini
kadang kala bertentangan dengan kebanyakan tokoh seperti Al-Baqillani, Al-Baghdadi, Al-Mawardi,
Al-Haramain (Al-Juwaini), Al-Ghazali,
Ibn Taimiyah dan Ibn Khaldun.
Terhadap kajian dan penulisan teori-teori politik pada khususnya,
kelihatannya para pemikir Islam Sunni klasik cenderung menciptakan teori-teori
politik sendiri. Teori-teori politik yang mereka hasilkan merupakan bagian dari
kajian ilmu fiqh, kalam, tarikh, filsafat, maupun adab (sastra). Bahkan, ada
juga yang termaktub dalam kajian tafsir-tafsir al-Qur'an dan syarah
(penjelasan) atas hadis-hadis.
Seperti itu juga yang dilakukan oleh imam juwaini dalam pemikirannya.
meskipun banyak dipengaruhi oleh suatu sifat tertentu dan tampil dalam wajah
tersendiri, serta perkembangannya berhenti pada titik tertentu, namun hasil
tersebut merupakan kekayaan ilmiah yang sangat bernilai dan harus diperhatikan
serta dikaji lebih lanjut.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimana
sejarah Imamul Haramain?
B.
Bagaimana
setting sosial budaya pada masa Imamul Haramain?
C.
Bagaimana
setting politik Imamul Haramain?
D.
Bagaimana
wacana keilmuan pada masa Imamul Haramain?
E.
Apakah
metode istinbat yang dipakai Imamul Haramain?
III.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Imamul Haramain
Nama lengkapnya adalah Abdul Al- Malik ibn Abdullah ibn Yusuf ibn
Muhammad ibn Hayyuyah Al-Juwaini. Ia lahir di Basitiskan, salah satu nama
wilayah di Khurasan, Persia pada tanggal 12 Muharram 419 Hijriyah, bertepatan
dengan 22 Februari 1028 M. Beliau hidup mencapai usia 59 tahun. Beliau wafat didaerah kelahirannya pada malam rabu tanggal 25 Rabi’ul-akhir
478 Hijriyah. Tentang sebutan Al- Juwaini diambil dari nama kota Jumain atau
Kuwain yang terletak antara Bastam dan Naisabur.[1]
Ayahnya seorang ulama yang sangat taqwa. Silsilah
keturunannya, sesungguhnya berasal dari Arab, yaitu dari suku Thoi, sebuah suku
yang cukup masyhur dari qabilah Arab. Ia
tidak makan kecuali dari yang halal dari yang dihasilkan oleh keringatnya
sendiri. Ia menikahi seorang perempuan dengan mas kawin yang diperoleh dari
usahanya sendiri. Kepada istrinya, ia mengatakan dan berpesan agar sang anak
tidak disusui oleh orang lain. Namun pada suatu hari ketika sang ibu
tengah memasak, anaknya menangis. Tiba-tiba istrinya menyerahkan anak itu untuk
disusui perempuan lain. Suaminya melihat keadaan itu lalu segera melarangnya.
Kepada istrinya ia mengatakan: “perempuan sahaya ini bukan milik kita dan ia
tidak berhak menyusui kecuali dengan izin tuannya, padahal sang tuan tidak
mengizinkannya”. Dengan tiba-tiba saja sang anak memuntahkan lagi isi perutnya.
Al-juwaini
meninggalkan negaranya sekitar tahun 443-447 H, pada saat di dalam negaranya
berkobar fitnah yang terkenal dengan sebutan fitnah al-khunduri. Ia pergi ke Mu’askar,
Bagdad dan Isfahan. Di Bagdad ia belajar pada Abu Bakar Al-Baqillani. Ia pernah
mengatakan bahwa ia pernah membaca dan bahkan menghapal 12. 000 lembar buku
karangan al-qadi Abu Bakar Al-Baqillani tentang teologi. di Isfahan
ia belajar pada Abu Nu’aim Al-Isfahami pengarang buku al-hilyah. Selain belajar
khusus, ia juga banyak mengadakan diskusi ilmiah dengan para tokoh yang ada di
Negara Negara yang pernah di kunjunginya.
Gelar Imam
Haramain Yang Ia Dapatkan itu karena ia pernah menetap dan
mengajar di Makkah dan Madinah. Ia juga disebut Diya’uddin,
karena ia mempunyai kelebihan dalam “menerangi” hati dan pikiran para pembela
aqidah Islamiyah, dan karena itu tokoh-tokoh Ahl al-Sunnah dapat menangkis
serangan dari para pengikut “golongan sesat” yang telah terjerumus dalam
kesesatan.[2]
Selain itu, ia
juga bergelar al-Ma’ali, karena ilmunya mengenai masalah-masalah
ke-Tuhanan (teologi) dipandang cukup mendalam dan kesungguhannya ke arah
kejayaan agamanya. Kepandaian berargumentasi dalam mengungguli mitra dialognya
dalam usaha menegakkan kebenaran dan membasmi kebatilan.
B.
Setting
Sosial Budaya pada masa Imamul Haramain
Masa kecil imam Al-Juwaini sangat ketat dalam pendidikan
agama dan seperti biasa beliau juga mendapat bimbingan langsung dari
ayahandanya. Setelah dewasa beliau berguru kepada beberapa ulama,
diantaranya Abu Al-Qasim iskaf Al-Asfarani dalam ilmu fiqih
dan ushul fiqih. Kemudian beliau memperdalam bahasa arab kepada Abu
Abdillah Al-Bukhari dan Abu Al-Hasan Ali bin Fadhal bin Ali
Al-Majassy'i , beliau juga belajar ilmu hadits kepada sejumlah ulama
seperti Abu Sa'ad bin Malik, Abi Hasan Muhammad bin Ahmad Al-Muzakki,
Abu Sa'ad bin Nadraw, Manshur bin Ramisyi, Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin
Al-Haris Al-Ashabani Al-Tamimi dan Abu Sa'ad bin Hamdan
Al-Naishabur.
Masa hidup Imam Haramain adalah masa akhir
pemerintahan Khilafah Abbasiyah yang berpusat di Bagdad. Masa ini adalah masa
yang penuh dengan gejolak termasuk gejolak pertentangan pandangan keagamaan
antara kaum Sunni dengan sementara kelompok dari kaum Syi’ah. Situasi inilah
yang mengakibatkan berpindahnya beberapa tokoh ulama Sunni meningalkan kampung
halamannya unfuk mendapatkan perlindungan dan ketenangan. Diantara yang hijrah
ini termasuk Imam Al Qusyairi dan Imam Al Haramain sendiri. Beliau ini hijrah
ke Bahgdad, dan selanjutnya terus ke Mekah Al Mukarramah dan tinggal di sana
selama empat tahun.[3]
Belakangan beliau pulang kampong ke Naishabur dan
mengajar. Tak berapa lama kemudian beliau diminta oleh Perdana menteri Nizam
Al-Mulk untuk mengajar di Madrasah Tinggi Nizamiyah di Baghdad. Di madrasah
inilah beliau melewatkan hari-harinya untuk mengajar sampai di akhir hayatnya. [4]
C.
Setting
Politik Imamul Haramain
Situasi pada zaman al-Juwaini hidup mengalami kesenjangan
di segala bidang. Keadaan ini bermula dari lemahnya pemerintah pusat di
Baghdad. Pada masa desintegrasi ini, khalifah Abbasiyah yang berkuasa tidak
lagi mempunyai wibawa dan kekuasaan mutlak. Negara-negara kecil mulai
bermunculan dengan cara melepaskan diri dari kekuasaan pusat. Kekuasaan
khalifah di rongrong dari dalam dan luar istana oleh orang keturunan Turki yang
merasa tela mendapatkan kedudukan kuat. Khalifah sendiri berusaha mencari
dukungan dari luar guna menyelamtkan kekuasaannya. Maka pada tahun 334 Hijriyah
khalifah Abbassiyah ke 21 Al- Muttaqi di Baghdad meminta bantuan kepada Ahmad A
Buwaihi yang berkedudukan di Khurasan untuk melindunginya dari musuh. akibat
dari permintaan itu, maka pada tahun ini pula dinasti Buwaihi berhasil memasuki
Baghdad dengan mulusnya tanpa hambatan. Setelah bani Buwaihi berhasil
mengalahkan musuhnya, kini merekala yang memegang kekuasaan penuh atas
permimintaan pemerintahan pusat.
Walaupun diluar bani Buwaihi tampak seperti berada di
bawa kekuasaan Abbasiyah namun pada hakikatnya merekala yang memegang penuh
tampak pemerintahan pusat. Bahkan lebih jauh bani Buwaihi yang bermazhab syiah
menekan khalifah Abbasiyah yang bermazhab sunni. Hal ini wajar terjadi sebab
anatara kedua mazhab saling bersaing untuk mencari pengaruh di kalangan
masyarakat umum. Kekacaun di bidang politik membawa kepada kekacaun di bidang
akidah. Timbul berbagai fitnah di mana-mana tak terkecuali di Nisyapur tanah
tumpah imam Juwaini.
Keadaan ini seperti terus berlanjut hingga suatu saat
bani Saljuk yang bermazhab sunnah tiba di Khurasan pada tahun 426 Hijriyah.
Kedatangan mereka tidak mengubah keadaan masyarakat secara drastis. Fitnah yang
timbul akibat fanatik golongan belum bisa di tanggulaninya.
Pada masa pemerintahan bani Saljuk yang dipegang oleh
Tughril Bek sekitar tahun 443 H. Timbul suatu fitnah yang kemudian di kenal
sebagai fitnah “Al-Khunduri”. Amid al-malik al-Khunduri seorang wazir
Thugril bek mengumumkan bahwa pemerintah menentang gerakan ahl-al-bid’ah yang
di bawa oleh al-Asyari’ah seperti juga pemerintah menentang gerakan rafidah.
Pemerintah mencela
dan melarang mereka berceramah diatas mimbar. Lebih jauh pemerintah menyeru orang orang agar
membenci mereka dan menganggapnya sebagai orang yang telah keluar dari ajaran
islam. Menurut Hodgson, Al khunduri menyerukan mu’tazilah dan semua ajaran
teologi lainnya unutk menghentikan ajaran-ajarannya.[5]
Banyak para ahli sejarawan yang mengatakan faktor sosial politik inila yang
menjadi penyebab imam Juwaini meninggalkan kampung halamannya Nisyapur.
Walaupun ada juga yang mengatakan bahwa Juwaini meninggalakan nisyapur karena
keinginan sendiri untuk untuk menimpa ilmu pengetahuan, yang memang pada
akhirnya imam Juwaini kembali lagi ke nisyapu setelah stuasi kembali kondusip.
Pemikiran Imam Al-Juwaini dalam bidang politik adalah sebagai berikut:
1.
Dasar pembentukan lembaga pemerintahan
Ide dan gagasan
Imam al-Haramain dalam bidang politik cukup menarik untuk di kaji. Terutma
pemikiran-pemikiran politik beliau yang sering kontradiktif dengan
pemikir-pemikir politik Islam Sunni klasik lainnya. Salah satu pemikiran
politik beliau yang kontradiktif dengan ulama Sunni klasik lainnya adalah
tentang Lembaga pemerintahan atau
negara (imamah-khilafah) adalah kepemimpinan umum bagi umat Islam dalam urusan
agama dan urusan dunia sebagai pengganti fungsi Nabi SAW. Dalam menetapkan
lembaga pemerintahan (imamah-khilafah) ini, Sunni, Syi’ah dan Mu’tazilah
mempunyai dasar hukum yang berbeda sesuai dengan doktrin yang dianut oleh
setiap aliran tersebut. Imam al-Haramain al-Juwaini berpendapat, bahwa
pembentukan lembaga pemerintahan (Imamah-khilafah) hukumnya adalah wajib. Namun
demikian, menurut Imam al-Haramain kewajibannya hanya berdasarkan atas ijma’,
dan bukan atas dasar nash atau perintah wahyu. Imam al-Haramain
dalam menetapkan dasar hukum pembentukan lembaga pemerintahan (Imamah-khilfah)
tersebut, berkaitan dengan pandangannya tentang hakikat Imamah itu sendiri.
Imam al-Haramain mengatakan bahwa “masalah imamah tidak termasuk dalam
prinsip-prinsip al-i’tiqad (keyakinan).” Orang yang tidak
mengetahui asal atau sumber munculnya imamah itu menimbulkan dua hal. Pertama,
cenderung menjadi ta’asshub (fanatik) dan melanggar kebenaran. Kedua,
hal itu menjadi lapangan ijtihad yang serba mungkin dan boleh jadi (al-mujtahadat
al-muhtamalat). Di dalamnya tidak terdapat dalil-dalil yang qath’iy
(pasti).
2.
Kriteria pemimpin negara Islam
Imam al-Juwaini
mensyaratkan kepala negara dengan menitikberatkan pada sisi kemampuan berfikir.
Pola berfikir yang diajukan oleh al-Juwaini hampir sama dengan apa yang digagas
oleh Plato dahulu. Imam al-Juwaini mengatakan bahwa pemimpin negara haruslah
seorang mujtahid, sehingga dengan begitu, ia tidak butuh meminta fatwa kepada
orang lain, mempunyai kemampuan untuk mengurusi kemaslahatan dan dapat
memeliharanya, mempunyai kemampuan dalam mengatur militer untuk pertahanan,
memiliki wawasan yang luas dalam memikirkan kaum Muslimin, memiliki sifat lemah
lembut, tegas dalam menjalankan hukum, seorang laki-laki yang merdeka. Yang
menarik dari al-Juwaini adalah ia tidak menetapkan syarat seorang pemimpin
negara dari keturunan Quraysh. Hal tersebut menurutnya merupakan suatu masalah
yang diperselisihkan yang tidak boleh membuat statemen yang pasti dan mutlak.[6]
D.
Wacana
Keilmuan pada Masa Imamul Haramain
Ketika masih muda, Imam
Haramain belajar fiqh dan hadits kepada ayahnya, Syeikh Abu Muhammad al Juwaini
dan kepada Qadi Husein. Setelah itu ia sekolah di madrasah al Baihaqi dan
belajar ilmu Kalam pada Abu al Qasim al Iskaf al Asyrafani. Dari sini ia
kemudian melanjutkan ke Baghdad dan Hijaz. Empat tahun lamanya ia tinggal dan
pulang pergi antara Makkah- Madinah sambil terus menimba Hadits dari para ulama
di sana.
Guru- gurunya adalah; Abu
Hasan Muhammad al Muzakki, Abu Sa’id Abd al Rahman bin Hamdan al Nadrawi, Abu
Abdullah Muhammad bin Ibrahim bin al Yahya al Muzakki, Abu Sa’d Abd al Rahman
bin al Hasan, Abu Abd Rahman Muhammad bin Abd al Aziz al Nili dan Abu Nu’aim.
Sedangkan Murid-muridnya
antara lain; Zahir al Syahami, Abu Abdullah al Farawi dan Ismail bin Abu Salih
al Muazzin. Beberapa karya yang Imam Haramain tulis antara lain; Al Nihayah
fi al Fiqh, Al Syamil fi Usul al Din, Al Burhan fi Usul al Fiqh, Al Irsyad
(akidah), Talkhis al Gharib, al Waraqat, Ghiyas al Waraqat, Mughis al Khalq
fi Tarjih Mazhab al Syafi’i, Al Mukhtasar al Nihayah, dan Al Nizamiyah.
Keunggulan beliau dapat diketahui dari sejumlah
karangannya. Karangannya disusun secara keilmuan, dengan sistem dan metodologi
tertentu, melalui bahasan yang meyakinkan. Karangan beliau kita kelompokkan
menjadi bidang:
1.
Ilmu Ushuluddin yaitu:
a.
Al Irsyad Ila Qowwathi’il Adillati Fi Ushulil
I’tiqood.
b.
Ar Risalah Fi Ushuliddin.
c.
Asy Syamil Fi Ushuliddin.
d.
Ghiyatsul Umam Fi Iltiyatsizh Zhulam.
e.
Syifaa’ul Gholil Fi Bayaani Maa Waqo’a Fi At
Taurooti wa Al Injiili Minat Tabdiil.
f.
Al Aqidah anNizhoorniyah Fi Al Aanil Islamniah.
g.
Luma’ul Adillati Fi Qowaa’idi ‘Aqoo’idi
Ahlussunnah Wal Jama’ah
h.
Mukhtashor AL Irsyad Lil Imam al Baqilani.
i.
Masa’ilil Imarn Abdulhak Ash Shoqoli Wa
Ajwibatu ha Lilimami Abilma’ali.
j.
At Talkhiish Fi Al Ushuli.
2.
Ilmu Ushulul Fiqhi yaitu:
a.
Al Burhan Fi Ushulil Fiqhi.
b.
Al Mujtahiddun (Min At Talkhish Fi Ushulil
Fiqhi).
c.
Al Waroqot Fi Ushulil Fiqhi.
d.
Mughiitsul Kholqi Fi Ikhtiyaril Ahaqqi.
e.
Al Irsyaad Fi Ushulil Fiqhi.
3.
Al Fiqhu yaitu:
a.
Nihaayatul Mathlab Fi Diroyatil Madzhab.
b.
Munazhorroh Fi Al Itjtihaadi Fil Qiblati.
c.
Munazhoroh Fi Ziwaajil Bikri,
d.
As Silsilatu Fi Ma’rifatil Qaulaini Wal
Wajhain.
e.
Ar Risalatu Fil Fiqhi
f.
ArRisalatu Fit Taqlidi Wal Ijtihadi.
4.
Karangan-karangan lainnya yaitu:
a.
As Durrotul Maliyah Fima Waqo’a Min Khilafi
Baina Asy Syafi’iyah Wa Al Hanafiyah.
b.
Ghunyatul Mustarsyidiin Filkhila.
c.
Al Kafiah Fi Al jadal.
d.
Qoshidatun Fil Washiyah Liwaladihi.
e.
Kitabun Nafes
f.
Diwanul Khuthob Al Minbariyah Al jumu’iyah Fil
Mawasimi Wal A’yadi.[7]
E.
Metode
Istinbat yang dipakai Imamul Haramain
Imam Haramain dalam kitab Ghiyats
al Ulum (dengan tahqiq Dr Abdul Azhim ad Dib hal. 296-297), mengatakan
orang yang bertaklid perlu berhati- hati dan bersikap kritis dalam menentukan
orang yang ditaklidinya. Ia tidak bisa seenaknya bertaklid kepada ahli fatwa
sekehendak dirinya. Ia harus mencari tahu seputar madzhab- madzhab yang ada dan
bertentangan pendapat- pendapat yang ada beserta konsekuensi- konsekuensinya.
Karena bagaimana ia dapat memilih dengan tepat antara mengambil madzhab yang
mengharamkan (dalam suatu perkara) dan yang menghalalkannya? Sedangkan, ia
tidak memiliki gambaran yang benar mengenai jalan yang ditempuhnya.
Pendapat yang dijelaskan Imam
Haramain mengenai ketentuan orang yang bertaklid terhadap orang yang
ditaklidinya adalah tidak diperuntukan bagi orang awam saja. Tetapi, juga bagi
orang yang termasuk penuntut ilmu, yang menurutnya sebagai golongan orang yang
mampu untuk memilih dan membenarkan suatu perkara hukum.[8]
IV.
KESIMPULAN
Nama lengkapnya adalah Abdul Al- Malik ibn Abdullah ibn Yusuf ibn
Muhammad ibn Hayyuyah Al-Juwaini. Ia lahir di Basitiskan, salah satu nama
wilayah di Khurasan, Persia pada tanggal 12 Muharram 419 Hijriyah, bertepatan
dengan 22 Februari 1028 M. Beliau hidup mencapai usia 59 tahun. Beliau wafat didaerah kelahirannya pada malam rabu tanggal 25 Rabi’ul-akhir
478 Hijriyah. Tentang sebutan Al- Juwaini diambil dari nama kota Jumain atau
Kuwain yang terletak antara Bastam dan Naisabur.
Gelar Imam
Haramain Yang Ia Dapatkan itu karena ia pernah menetap dan
mengajar di Makkah dan Madinah. Ia juga disebut Diya’uddin,
karena ia mempunyai kelebihan dalam “menerangi” hati dan pikiran para pembela
aqidah Islamiyah, dan karena itu tokoh-tokoh Ahl al-Sunnah dapat menangkis
serangan dari para pengikut “golongan sesat” yang telah terjerumus dalam
kesesatan. Selain
itu, ia juga bergelar al-Ma’ali, karena ilmunya mengenai
masalah-masalah ke-Tuhanan (teologi) dipandang cukup mendalam dan
kesungguhannya ke arah kejayaan agamanya. Kepandaian berargumentasi dalam
mengungguli mitra dialognya dalam usaha menegakkan kebenaran dan membasmi
kebatilan.
Masa kecil imam Al-Juwaini sangat ketat dalam pendidikan
agama dan seperti biasa beliau juga mendapat bimbingan langsung dari
ayahandanya. Setelah dewasa beliau berguru kepada beberapa ulama.
Situasi pada zaman al-Juwaini hidup mengalami kesenjangan
di segala bidang. Keadaan ini bermula dari lemahnya pemerintah pusat di
Baghdad. Pada masa desintegrasi ini, khalifah Abbasiyah yang berkuasa tidak
lagi mempunyai wibawa dan kekuasaan mutlak. Negara-negara kecil mulai
bermunculan dengan cara melepaskan diri dari kekuasaan pusat.
Ketika masih muda, Imam
Haramain belajar fiqh dan hadits kepada ayahnya, Syeikh Abu Muhammad al Juwaini
dan kepada Qadi Husein. Setelah itu ia sekolah di madrasah al Baihaqi dan
belajar ilmu Kalam pada Abu al Qasim al Iskaf al Asyrafani. Dari sini ia
kemudian melanjutkan ke Baghdad dan Hijaz. Empat tahun lamanya ia tinggal dan
pulang pergi antara Makkah- Madinah sambil terus menimba Hadits dari para ulama
di sana.
Imam Haramain dalam kitab Ghiyats
al Ulum (dengan tahqiq Dr Abdul Azhim ad Dib hal. 296-297), mengatakan
orang yang bertaklid perlu berhati- hati dan bersikap kritis dalam menentukan
orang yang ditaklidinya.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah yang kami buat, tentu saja tidak luput dari kesalahan dan kekeliriuan dari
makalah ini. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun dari kawan-kawan semua
sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
[1] Taju Al Din, Syarh
Waraqat li Imami Haramain, (Kuwait: Darul Basyar Al Islamiyyah, 1997), hlm.
15
[2]
Abdullah
Mustofa Al Maraghi, Pakar- pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, (Jakarta:
Penerbit LKPM, 2001), hlm. 161
[4] http://fazkakhoirurijal.blogspot.com/2013/10/sejarah-pemikiran-tokoh-imam-haramain. html/11/10/14/09.15WIB
[5]Tsuroya Kiswali, Al-Juwaini
Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm
28-29
[8]
http://fazkakhoirurijal.blogspot.com/2013/10/sejarah-pemikiran-tokoh-imam-haramain. html/11/10/14/09.15WIB
Comments
Post a Comment