ARTIKEL tentang MENDIDIK SISWA TAKUT MESUM DAN NARKOBA, REPARASI MORAL ANTI KORUPSI dan AGAMA RAMAH DIALOG BUDAYA
kali ini saya men-share beberapa artikel yang ditulis dan juga sudah diterbitkan oleh beberapa media cetak koran. penulis artikel ini adalah M. Rikza Chamami, MSI Dosen dan Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies Universitas
Islam Negeri Walisongo. kenapa saya menshare artikel ini ??
hahahaha, iya karena iseng aja ...
bukan karena iseng lah , saya share artikel ini karena saya sudah membaca dan sudah juga memahami dan sangat bermanfaat maka dari itu saya menularkan bahan bacaan artikel ini supaya sobat dapat manfaatnya juga dan mungkin bisa dijadikan sumber referensi juga.
atau sekedar untuk bahan bacaan. yang terpenting memberi manfaat bagi kita semua !!! merdeka !! salam pergerakan !!!
langsung di baca aja !! cekidot !!
hahahaha, iya karena iseng aja ...
bukan karena iseng lah , saya share artikel ini karena saya sudah membaca dan sudah juga memahami dan sangat bermanfaat maka dari itu saya menularkan bahan bacaan artikel ini supaya sobat dapat manfaatnya juga dan mungkin bisa dijadikan sumber referensi juga.
atau sekedar untuk bahan bacaan. yang terpenting memberi manfaat bagi kita semua !!! merdeka !! salam pergerakan !!!
langsung di baca aja !! cekidot !!
REPARASI MORAL ANTI KORUPSI
M. Rikza Chamami, MSI
Dosen dan Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies Universitas
Islam Negeri Walisongo
Korupsi sudah
dinyatakan sebagai penyakit menular yang berbahaya. Maka keberadaannya selalu
dijadikan topik bahasan tentang strategi penghentian perilaku korupsi ini.
Salah satunya adalah dengan pola pendidikan anti korupsi yang ditanamkan sejak
dari kecil. Bahkan dunia pendidikan juga diarahkan selalu memasukkan materi
pendidikan anti korupsi di semua mata pelajaran.
Dalam rangka
mengawal pendidikan anti korupsi ini, maka perlu dimulai dari reparasi moral.
Sebab korupsi bukan hanya penyakit birokrasi, tetapi bermula dari penyakit moral.
Saat korupsi belum mendapatkan sorotan publik dan hukuman yang berat, maka
tindak korupsi sudah menjadi tradisi birokrasi. Apalagi saat hukum masih bisa
dibeli, maka koruptor masih melenggang dimana-mana.
Di era
demokrasi semacam ini memang sudah beda. Koruptor sudah mulai “takut” dengan
adanya Komisi Pemberantasan Korupsi dan Undang-Undang Anti Korupsi. Jadi
dibutuhkan pembelajaran secara menyeluruh kepada semua warga negara tentang
bagaimana menata moral agar tidak terbiasa untuk melakukan korupsi. Selain
korupsi merupakan tindak asusila menurut agama, korupsi juga menjadi sumber
petaka negara. Sebab uang yang harusnya untuk rakyat, tapi hanya dimanfaatkan
untuk kelompok tertentu.
Melakukan
reparasi moral anti korupsi dapat dilakukan dengan model sebagaimana berikut: Pertama,
membangun mental triman, qana’ah (syukur menerima apa adanya).
Penyimpangan dalam hal keuangan biasanya didahului semangat ingin kaya secara
instan. Maka cara yang efektif untuk mengejar ambisi itu dengan korupsi. Setiap
orang yang haus kekayaan itu memanfaatkan segala cara bagaimana agar dirinya
kaya—walaupun dengan cara yang tidak benar. Jadi para koruptor itu memang ingin
hidup mewah dan tidak punya sifat menerima apa yang ada.
Kedua,
membangun mental hemat. Hidup hemat ini penting karena tidak mengarah pada
perilaku glamor dan konsumtif. Ketika pendapatan tidak sepadan dengan
pengeluaran, maka ekonomi akan terganggung. Dan ketika ada peluang untuk
menyimpangkan kekuasaan dengan korupsi, maka itu akan dilakukan untuk mengejar
tuntutan hidup. Jadi korupsi lahir atas dorongan meninggalkan hidup hemat
menjadi pola hidup konsumtif.
Ketiga,
membangun mental hidup sehat. Tidak disadari bahwa hidup sehat bukan hanya
terhindar dari penyakit. Tetapi hidup sehat itu juga terhidar dari perilaku
korupsi. Sebab ketika orang melakukan korupsi, maka kecenderungan untuk
menyendiri, menyimpan rahasia dan “terhantui kesalahan” sangat tinggi. Dan itu
semua akan mengganggu psikologinya sehingga lahir penyakit-penyakit fisik
sebagai dampak penyakit psikisnya.
Keempat,
membangun mental tepo sliro (peduli sesama). Ketika orang sudah berani
melakukan korupsi, maka yang ingin dilakukan adalah memperkaya diri sendiri.
Karena prinsip yang dipegang adalah: “susah mencari dan ingin menguasai”. Oleh
sebab itu, budaya korupsi akan mulai hilang jika masing-masing sadar bahwa ada tanggungjawab
antar sesama yang harus dipikul. Kepedulian terhadap sesama ini akan mengurangi
mental korup.
Dan kelima,
membangun mental sadar hukum. Adanya korupsi didasari atas menyepelekan hukum,
baik hukum agama maupun hukum negara. Dan inilah yang membuat orang berani
main-main dan bahkan membuat korupsi sebagai “tradisi” karena tahu celah
hukumnya. Justru yang berani melakukan korupsi adalah mereka yang kebal hukum
dan tahu cara menghindari maladministrasi yang disebut korupsi.
Lima hal ini
patut untuk dijadikan bahan renungan bagaimana agar masyarakat mulai sadar
bahwa perilaku korupsi itu mengancam keutuhan negara. Sebab semakin banyak
korupsi, maka sistem keuangan negara akan mengalami kerugian besar dan yang
dirugikan adalah rakyat. Sebab rakyat yang harusnya mendapatkan perhatian
justru terabaikan.
Menata mental
yang demikian ini sepatutnya juga dimulai dari tingkat keluarga. Bagaimana
orang tua mendidik anak-anaknya untuk prihatin, hemat, sehat, tepo
sliro dan sadar hukum dalam setiap harinya. Termasuk tanggungjawab ini
perlu dipikul oleh sekolah untuk menanamkan tradisi anti korupsi dengan
berbagai macam materi pelajaran. Para generasi muda juga perlu dilatih cara
berorganisasi yang terhindar dari semangat korupsi.
Dengan pola
inilah negeri ini akan terhindar dari perilaku jahat korupsi ini. Jadi untuk
membunuh penyakit korupsi perlu dimulai dari reparasi mentalnya terlebih
dahulu, baru kemudian penanaman nilai anti korupsi.*)
artikel yang ke 2
artikel yang ke 3
artikel yang ke 2
Mendidik Siswa Takut Mesum dan Narkoba
M. Rikza Chamami, MSI
Dosen dan Mahasiswa Program Doktor Universitas Islam Negeri
Walisongo
Mendidik anak
memang butuh kesabaran ekstra. Tidak ada kata gagal dalam proses pendidikan.
Maka berita “Sepuluh Pasang Pelajar Ditangkap di Losmen Usai UN” yang dimuat
Jateng Pos (20 April 2015) patut dipahami secara bijaksana. Satu sisi berita
ini menjadi musibah bagi dunia pendidikan. Dan di sisi lain, berita ini menjadi
koreksi bersama seluruh stake holder pendidikan—bahwa perlu banyak
koreksi atas pendidikan karakter di sekolah.
Siapapun akan
mengatakan bahwa perilaku mesum pelajar di Losmen setelah UN itu tidak benar.
Secara agama, tindakan itu jelas-jelas keluar dari norma karena hubungan intim
dilakukan tanpa ikatan pernikahan. Dalam kontek etika juga sangat tidak etis
karena usia muda dan orang terpelajar tapi melakukan tindak asusila. Maka
peristiwa semacam ini menjadi musibah bagi dunia pendidikan.
Jika dilihat
dari sisi kebahagiaan setelah UN, para pelajar yang melepas penat dengan
berlibur adalah wajar. Yang tidak wajar adalah tambahan “liburan” dengan mesum.
Hampir satu tahun para pelajar kelas XII didoktrin dan dijejali dengan
materi-materi UN. Bahkan ada pelajar yang menambah jam belajar dengan kursus di
luar. Beban UN terasa hilang ketika ujian sudah dilaksanakan setelah suasana
hati gundah dan gelisah menghadapinya.
Kemungkinan
besar, menikmati liburan dengan wisata selesai UN merupakan ritual yang turun
temurun. Namun yang perlu dicatat adalah “kesalahan teknis” di lapangan dengan
tindakan mesum itu. Maka, disinilah titik utama bahwa ada yang perlu dicari,
dimana letak “trouble” pendidikan karakter di sekolah. Secara normatif,
sekolah sebagai lembaga pendidikan sudah memberikan materi pendidikan agama,
pendidikan budi pekerti dan bahaya pergaulan bebas. Namun di tingkat teknis,
ternyata tidak semua pelajar mampu melaksanakan itu dengan baik.
Untuk
meminimalisir kejadian serupa terjadi atau bahkan marak dimana-mana, perlu
sekali renungan bersama dengan melakukan empat hal. Pertama, pembekalan kepada
pelajar tentang UN perlu mempertimbangkan tiga konsep pembelajaran: senang,
aktif dan serius. Jangan sampai suasana hati pelajar sebelum UN diciptakan
tertekan dan terhantui. Kalau ini yang terjadi, banyak pelajar stres dan ingin
bersenang-senang setelah UN berakhir. Suasana tray out UN perlu dibuat
dengan penciptaan lingkungan belajar yang happy dan pelajar dibuat
aktif.
Kedua,
menjelang UN berlangsung para pelajar banyak dibekali dengan pendidikan
spiritual sesuai agama masing-masing. Pelajar diwajibkan berdo’a khusus UN
selesai melakukan ibadah. Sekolah juga perlu membuat acara rutin do’a bersama (istighatsah:
menurut Islam) sebelum UN. Sentuhan spiritual dengan do’a agama ini akan
membuat pelajar dekat dengan agamanya. Sehingga kadar keimanan dan ketaqwaan
pelajar tidak kabur hanya karena stres memikirkan UN.
Ketiga, setelah
UN berakhir, sekolah perlu membuat kegiatan positif yang terintegrasi dengan
masa depan pelajar. Tidak salah jika sekolah membuat “wisata pasca UN” (tempat
yang terdekat dan biaya murah)—agar siswa dan guru menyatu mensyukuri UN
berakhir. Apalagi dengan kebijakan bahwa UN bukan satu-satunya standar
kelulusan, maka sekolah bebas memberikan pendampingan pada pelajar setelah UN.
Kegiatan wisata yang terkoordinir oleh sekolah ini lebih baik daripada
anak-anak dibiarkan bebas tanpa kontrol.
Dan keempat,
sekolah perlu kembali mengefektifkan pendidikan budi pekerti dan pendidikan
agama—terutama dalam menjelaskan dosa mesum dan bahaya hamil di luar nikah.
Memang selama ini pendidikan seks bagi para pelajar tidak banyak mendapatkan
perhatian. Namun melihat situasi yang tidak kondusif dengan maraknya pelajar
mesum hingga hamil, maka pendidikan seks perlu digalakkan kembali.
Era serba
canggih sekarang menuntut banyak pendampingan dari guru kepada para pelajar.
Apalagi dengan mahirnya para pelajar berselancar dengan internet. Situs
internet dewasa juga masih bisa bebas diakses para pelajar. Maka sekolah juga
perlu memberikan pendidikan internet sehat bagi pelajar. Bagaimana internet
yang bebas itu dapat dimanfaatkan secara baik oleh pelajar dan membantu untuk meningkatkan
prestasi siswa.
Hal yang paling
mendesak dilakukan sekolah adalah rutin mengontrol akhlak pelajarnya. Bagaimana
pelajar ini bergaul dan bermasyarakat. Jika ada indikasi pelajar sudah keluar
dari norma agama dan pendidikan maka guru BP dan guru agama berperan menata
akhlak pelajarnya. Termasuk disini mengantisipasi bahaya narkoba bagi para
pelajar dengan melakukan tes narkoba rutin untuk pelajar dan guru. Jangan
sampai pelajar dijadikan objek tes narkoba, tapi gurunya takut dites narkoba.
Inilah bukti bahwa dunia pendidikan akan baik secara moral berangkat dari guru
dan pelajarnya.
Kenapa narkoba
penting untuk diperangi sekolah? Karena perilaku asusila banyak dimulai dari
keberanian mengkonsumsi narkoba atau “belajar mabuk”. Intinya, sekolah perlu mendidik
agar pelajar takut mesum dan terjauh dari bahaya narkoba.*)
artikel yang ke 3
AGAMA RAMAH DIALOG BUDAYA
M. Rikza Chamami, MSI
Dosen dan Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies Universitas
Islam Negeri Walisongo
Agama dan
budaya merupakan dua hal yang tidak mudah dipisahkan. Agama sebagai doktrin merupakan
keyakinan pribadi antara individu dengan Tuhannya. Sedangkan budaya terbentuk
atas kesepakatan masyarakat dengan perilaku tertentu. Melihat fenomena agama
dan budaya akhir-akhir ini yang kadang jumbuh, maka perlu sekali pencarian
titik temu agama dan budaya.
Maraknya
ideologi radikal sebuah agama yang terjadi di Indonesia menjadikan opini publik
miring tentang agama. Sebab agama sudah dimaknai sebagai salah satu pemicu
konflik sosial dan politik. Padahal agama hadir bukan untuk menciptakan
konflik. Agama yang hadir sebagai pencipta konflik adalah agama yang melenceng
dari perintah teologinya.
Hadirnya
pengikut agama yang fanatik dan cenderung radikal itu adalah fakta dari agama
yang jauh dari budaya. Kenapa demikian? Sebab agama radikal adalah cerminan
dari egoisme kelompok yang menerapkan prinsip “dirinya yang paling benar”.
Ketika sudah demikian, maka yang lain di luar mereka itu “salah” dan “ahli
neraka”. Disitulah agama yang jauh dari budaya.
Ketika agama
itu disandingkan dengan budaya, maka ada pemahaman yang lebih luas. Bahwa agama
adalah urusan individu per indivudu sedangkan kumpulan dari orang yang seagama
itu menjadi budaya. Dari kumpulan umat seagama itu perlu dilanjutkan dengan
prinsip kerukunan beragama. Disitulah letak keseimbangan antara beragama dan
berbudaya. Jika beragama dan berbudaya itu berjalan linier, maka dunia ini akan
damai dan aman.
Maraknya
ideologi baru ISIS (Islamic State Irak and Suria) membuat banyak orang
terganggu. Citra Islam yang besar dan tercipta sebagai agama damai, luntur
akibat oknum umat beragama yang menggunakan nama agama demi egoisme politik. Banyak
tokoh muslim yang menyayangkan kenapa ISIS itu hadir dan menjadi musuh dunia.
Yang akhirnya harus menjadikan nama Islam kembali tercoreng. ISIS dengan paham
neo-khawarij ini memang selalu hidup ekslusif yang gampang menganggap yang
berbeda dengan mereka “halal darahnya” dan boleh dibunuh.
Itulah fakta agama
yang dipisahkan dengan budaya. Dimana-mana mereka memakai nama agama, tetapi
tidak mampu memahami cipta, karya dan karsa manusia yang berbeda. Akibat
perbedaan yang tidak mampu dipahami sebagai rahmat Tuhan, maka perang selalu
menjadi solusi. Berarti tren agama perang dan anti dialog ini sudah menjadi
pilihan bagi mereka. Budaya dialog hilang dan kabur dari ruh agama. Itu sebagai
salah satu bukti bahwa radikalisme agama itu sebagai agama anti dialog budaya.
Jika pintu
dialog itu terbuka, maka perang yang menjadi tradisi “perlawanan ideologi”
dengan semangat “jihad” itu tidak mudah terjadi. Justru perang dengan pekik
takbir “Allahu Akbar” bagi mereka menjadi semangat, seakan yang dibunuh adalah
musuh agama. Padahal mereka juga dimusuhi oleh dunia. Ini menjadikan sesuatu
yang sangat aneh. Oleh sebab itu, beragama dengan model ini patut dikoreksi
bersama. Bahwa fanatik dalam agama itu boleh, tapi jika fanatik membabi buta
itu hal yang sangat naif.
Terjadinya pola
perubahan pandangan agama dari sosial menjadi individual ini secara sosiologis
sangat wajar. Sebab kelompok radikal ini selalu hidup dengan sikap tertutup.
Mereka didoktrin sedemikian kuat bahwa “kelompoknya” yang paling benar dan
tidak mengenal toleransi. Berarti perubahan sosial ini akibat perubahan budaya
internal. Dimana yang harusnya mereka bersatu padu dan memahami perbedaan,
tetapi sudah diminta untuk tidak mengenal perbedaan.
Maka disinilah
dibutuhkan semangat baru untuk mencari permasalahan sosial dengan perencanaan
sosial (social planning) yang tepat bagi keberagamaan Indonesia. Pertama,
pemerintah perlu kembali menggalakkan sosialisasi arti agama sebagai pemersatu
masyarakat. Ini dapat dimulai dari kurikulum sekolah hingga perguruan tinggi
dan sosialisasi pada tokoh agama. Jika ada ideologi agama yang radikal,
pemerintah perlu terjun lapangan untuk melakukan pembinaan dan pelarangan.
Kedua, masyarakat
secara aktif hadir sebagai pemeran agama yang pro budaya. Yang dimaksudkan
adalah menjadi umat agama sekaligus warga negara yang mampu memahami gotong royong,
tepo sliro, toleransi dalam garis perbedaan. Perbedaan agama bukan
penghambat untuk menyatukan negeri. Justru dengan fanatisme agama yang lepas
kontrol, nasionalisme Indonesia di bawah bayang-bayang perpecahan.
Ketiga, budaya
berpancasila perlu kembali dibangun dengan baik. Hilangnya penataran P4 (semasa
jaman Orde Baru) nampaknya mulai terasa. Masyarakat desa yang dulu selalu
dijejali materi Pancasila sebelum membuat KTP seakan merasakan betapa
berartinya penataran itu—sebagai sebuah materi inti kerukunan beragama. Bagi
anak muda sekarang sudah tidak mendapatkan penataran itu (hanya dari materi PKn
di Sekolah), maka wajar jika porsi pemahaman Pancasila sangat sedikit.
Dan keempat,
masyarakat perlu lebih dewasa memaknai hakikat agama dan budaya. Jika ini
dilakukan dengan baik, maka bangsa Indonesia akan baik dan tidak mudah diadu
domba dengan mengatasnamakan agama. Tidak ada agama yang memerintahkan umatnya
untuk berkonflik. Semua agama ingin dunia ini damai dan memperbaiki nasib
rakyatnya. Jadi yang dibutuhkan hari ini adalah agama yang mampu berdialog
dengan budaya—bukan agama yang tidak berbudaya.*)
Comments
Post a Comment